"mas, kok seneng pake baju lurik sih?"
begitu celetuk tanya seorang kawan di sebuah pertemuan. hmm knapa ya? mungkin
karena unik dan saya pikir ini adalah satu bentuk apresiasi pribadi saya pada
budaya indonesia terutama Jawa (Jogja adalah kota yang membesarkan saya),
sekaligus sebagai ungkapan identitas budaya.
kalo pakaian menjadi sebuah ungkapan identitas, lalu kenapa
bukan batik? bukankah batik adalah pakaian nasioal dan sudah terkenal sebagai identitas bangsa. pertanyaan itu meluncur setelah pertanyaan pertama belum selesai
dijawab. hmmmm benar juga ya, kenapa bukan batik yang saya pilih untuk saya
kenakan. Tapi kalau saya pikir-pikir lagi, batik sudah banyak yang pakai dan
khasanah budaya kita tidak cuma batik dan saya pikir perlu juga untuk
mengkampanyekan "fashion'' tradisional yang lain. Dan hati ini tertambat
pada surjan lurik, karena saya cukup dekat dengan budaya jawa-jogja walau orang
tua saya dayak dan sunda. selain itu surjan lurik sangat nyaman dan ringkas,
kadan saya pakai sebagai jaket dan seringnya saya menjadikan sebagai syal.
Desain surjan pertama kali di perkenalkan oleh syeih Bonang dan di sempurnakan oleh syeih sunan kali jogo. Sebagai busana tuk menunaikan sembahyang/sholat, maka tak heran ternyata baju surjan juga dikenal sebagai baju takwa. Sedangan motif lurik melambangkan kesederhanaan seorang hamba,di depan sang maha segala nya yaitu TUHAN semesta alam.Sehebat apapun manusia di dunia tidak akan ada apa apa nya di hadapan TUHAN.
Desain surjan pertama kali di perkenalkan oleh syeih Bonang dan di sempurnakan oleh syeih sunan kali jogo. Sebagai busana tuk menunaikan sembahyang/sholat, maka tak heran ternyata baju surjan juga dikenal sebagai baju takwa. Sedangan motif lurik melambangkan kesederhanaan seorang hamba,di depan sang maha segala nya yaitu TUHAN semesta alam.Sehebat apapun manusia di dunia tidak akan ada apa apa nya di hadapan TUHAN.
lurik is so njogja |
Sunan Kali Jogo terlihat tetap mempertahankan idetintas sbg orang jawa dan tidak brpakaian seperti orang arab |
Sunan Kali jogo menciptakan model pakaian islam utk orang
jawa tanpa perlu meniru budaya pakaian orang arab. yang kemudian di sebut
surjan.memang dalam sejarah sosok Sunan Kali Jogo memang seorang wali yang mampu
medakwahkan agama Islam dengan tetap menunjukan idetintas budaya, beliau sangat cerdas dalam mengakulturasi budaya. Dan
kemudian pewaris baju surjan adalah kesultanan Yogyakarta. SURJAN (sirajan) yang
berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita
agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak SATRIYA,
dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad golong-gilig baik
berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama. Sifat Greget
(tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat
Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur
satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa
seperti Nyawiji Greget Sengguh Ora
Mingkuh.
Bentuk pakaian Takwa adalah; Lengan panjang, ujung baju
runcing, leher dengan kancing 3 pasang (berjumlah 6, lambang rukun Iman), dua
kancing di dada kanan kiri berarti dua kalimat syahadat, tiga buah kancing
tertutup melambangkan 3 nafsu manusia yang harus diatasi, yakni nafsu bahimiah
(binatang), lauwamah (perut) dan nafsu setan. Pakaian Takwa ini di dalam Kraton
hanya dipakai oleh Sri Sultan dan Pangeran Putra Dalem. Sedang pakaian takwa
untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan
Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam.
Baju surjan sendiri memiliki banyak corak dan warna, dan yang
sering saya kenakan ini merupakan corak lurik. Dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah
pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat,
tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam
bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi
wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya
pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa
situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit,
lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber
yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun
gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam
salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun
dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja
Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah
satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).
Dalam bahasa Jawa kuno, lorek berarti lajur atau garis, belang
dan dapat juga berarti corak. Karena itulah mengapa di Jawa Tengah dan Jawa
Timur kain tenun bercorak lajur ini akhirnya dikenal dengan nama lurik.
Pada dasarnya motif lurik secara garis besar terbagi 3 :
1. Motif garis-garis searah panjang sehelai kain, disebut
dengan istilah lajuran
2. Motif garis-garis yang searah lebar kain disebut dengan istilah pakan
malang
3. Motif lurik dengan motif kecil-kecil disebut cacahan
Dalam perkembangannya, motif dasar tersebut dapat bervariasi
baik ukuran lajurnya maupun besar cacahannya. Pencipta lurik biasanya
menggabungkan berbagai variasi lajuran dan pakan malang sehingga terciptalah
motif-motif baru.
note : ini bukan foto mbah jarwo... cuman dapet waktu gugling |
Bagi Saya lurik sarat akan nasihat akan hidup yang sederhana,
dan ada ninilai sentimental dbagi saya. Saya ingat betul ketika masih ditipkan
ke tetangga saya di sebuah desa di Klaten –Jateng. Saat itu saya tinggal selama
setahun bersama seorang nenek tua, Mbah Jarwo begitu kami sering
menyapanya. Selama satu tahun pula saya
menikmati kehidupan jawa yang sederhana, rumah Mbah Jarwo sebagan masih
berlantaikan tanah dan dapurnya pun masih menggunakan tungku (walau pun ada
sebuah kompor gas pemberian anak tertuanya, tapi jarang digunakan). Selain bertani, Mbah Jarwo adalah seorang
tukang tenun. Tak jarang motif luring di tenun oleh mbah Jarwo disela-sela
kesibukannya bertani. Saya mengamati betul proses menenun sehelai kain lurik
ternyata benar-benar butuh ketekunan luar biasa apalagi Mabh jarwo masih
mengbunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin. Hari-hari saya selama setahun di
cawas selalu di ramaikan suara dengan itme khas yang keluar dari Alat tenun.
Semoga baju surjan dan motif lurik ini bisa setenar batik, dan segera di ajukan ke UNESCO. Pasti menarik
sekali kalo surjan bisa menjadi pakaian nasional dari pada sekedar baju sebagai buah
tangan dari jogja ,lurik seharusnya seperti batik yang sudah sering dikenakan setidaknya di hari
jumat dan kondangan. Atau bisa jadi alternative baju muslim dari pada pakai
yang ke Arab-araban. Dan siapa tahu pengerajin kain tenun motif lurik bisa
lebih sejahtera bila surjan dan lurik menjadi popular.
Saat ini saya masih
menikti surjan lurik yang kadang terlilit di leher atau membungkus badan agar
tidak kena panas atau dingin. Dan boleh sajakan kalo saya menjadi “pria
berkalung surjan” hehehehehe….
rizekiraharja
No comments:
Post a Comment